Senin, 02 Januari 2012

makalah poligami dan perkawinan wanita hamil

       Poligami  saat ini masih menjadi pro-kontra di masyarakat. Hal ini dikarenakan perbedaan pandangan masyarakat akan poligami itu sendiri. Masih banyak masyarakat yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan yang negatif. Ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum adanya Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan.Tujuan hidup berkeluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya poligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam rumah tangga dapat menjadi hilang.Keharmonisan dalam keluarga juga akan hilang. Hal ini tentu merugikan bagi istri dan anak-anaknya karena mereka beranggapan bahwa mereka tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami. Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun ada juga yang menentang. Terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini diperparah dengan perekonomian  keluarga yang tidak memungkinkan poligami.
Namun poligami dalam islam sendiri, adanya bukan tanpa tujuan dan alasan yang rasional, seperti yang kita ketahui bahwa semua yang telah menjadi aturan dan hukum dalam islam itu sudah ada alasan dan hikmah yang terkadang kita kurang menyadari dan memahami.
Bukan hanya poligami yang menjadi problematika dalam kehidupan manusia saat ini, tapi juga kasus pernikahan wanita hamil yang sering dijumpai dalam masyarakat yang menimbulkan berbagai anggapan negatif di kalangan masyarakat. bahkan dalam kalangan ulama sendiri (ahli fiqih) masih terdapat perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya pernikahan seperti itu.
Sungguh memang sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda pada zaman sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan para orang tuapun ikut andil. Karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal demikian. Bahkan ada diantara orang tua yang kurang paham agama, menganjurkan kepada anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina. Para orang tua banyak yang tidak mendidik anak-anak dengan pendidikan Islam.
Akibat dari pergaulan gaya barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana dan bukan lagi menjadi masalah tabu. Kita sering mendengar ada anak yang terlahir dari hasil hubungan di luar nikah. Bahkan untuk menutupi aib maksiat yang dilakukan justru mereka menutupinya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Yaitu menikahkan kedua pelaku maksiat. Setelah si laki-laki menghamilinya, dia menikahinya dalam keadaan si wanita sedang hamil. Atau meminjam seseorang untuk menikahinya dengan dalih menutupi aibnya.
1.      Apa itu poligami ?
2.      Bagaimana pandangan islam mengenai poligami itu ?
3.      Bagaiaman hukum perkawinan wanita hamil dan bagaimana status nikahnya?
4.      Bagaimana status anak yang lahir dari pernikahan tersebut?

C.  Tujuan
1)      Untuk lebih memahami masalah poligami yang menjadi polemik dikalangan masyarakat.
2)      Untuk menambah pengetahuan mengenai perkawinan wanita hamil.
3)      Untuk mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap poligami dan perkawinan wanita hamil.








            Kata poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu  poly atau polus yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa, poligami berarti suatu perkawinan yang banyak  atau suatu perkawinan yang lebih satu orang baik pria maupun wanita.
            Dalam antropologi sosial, Poligami merupakan praktek pernikahan kepada lebih dari satu istri atau suami. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu : Poligini ( Seorang pria memiliki beberapa orang istri); Poliandri ( Seorang wanita memiliki beberapa orang suami ) dan Group Marriage atau Group Family ( yaitu gabungan dari poligini dengan poliandri, misalnya dalam satu rumah ada lima laki-laki dan lima wanita, kemudian bercampur secara bergantian ). ketiga bentuk poligami itu ditemukan dalam sejarah manusia, namun poligini merupakan bentuk paling umum. Poligami ( dalam makna Poligini ) bukan semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia di berbagai belahan dunia sudah mengenal poligami.
            Poligami bukan merupakan praktek yang dikenalkan oleh Islam pertama kali. Namun poligami merupakan praktek yang telah berlangsung semenjak zaman dahulu, setua dengan tuanya usia peradaban manusia.
            Hamdi Syafiq mengatakan : ”Islam bukanlah yang pertama kali memperkenalkan poligami. Secara historis ditetapkan bahwa poligami  telah dikenal semenjak masa lalu, sebuah fenomena yang usianya setua manusia itu sendiri dimana poligami telah menjadi sebuah praktek yang lazim semenjak masa Paranoiak”.
            DR. Muhammad Fu’ad al-Hasyimi, mantan pemeluk kristiani yang akhirnya masuk Islam, di dalam bukunya ”Religions on The Scales” (hal. 109) berkata: “Gereja telah mengenal praktek poligami sampai abad ke-17. Tidak ada satupun dari injil yang empat diketahui adanya larangan yang secara jelas melarang poligami. Perubahan terjadi ketika orang-orang Eropa yang bertaklid kepada tradisi non poligami kaum paganis (hanya beberapa kalangan saja yang diketahui melarang poligami, karena mayoritas masyarakat Eropa –sebagaimana disebutkan sebelumnya- mempraktekan poligami secara luas). Ketika kaum minoritas anti poligami itu masuk agama kristen, tradisi mereka menggeser tradisi poligami dan mereka memaksakan (tradisi ini) bagi penganut kristen lainnya. Seiring berlalunya waktu, kaum kristiani mengira bahwa larangan poligami itu merupakan esensi ajaran kristen, padahal hal ini berangkat dari sikap taklid kepada para pendahulu mereka, yang sebagian orang (non poligamis) memaksakannya kepada lainnya (tradisinya) dan akhirnya terus berlangsung selama bertahun-tahun...”
            Bukti bahwa praktek poligami bukan hanya ada dalam islam saja menunjukkan satu buah ayat dari “Kitab Suci”  mereka yang menunjukkan bahwa poligami itu terlarang. Jika mereka mau bersikap obyektif, bukankah kitab “Perjanjian Lama” yang diklaim sebagai Taurat (Torah), membatalkan klaim mereka yang menolak poligami. Karena kitab “Perjanjian Lama” ini secara eksplisit menunjukkan akan adanya praktek poligami di kalangan para Nabi dan Rasul, mulai dari Prophet Abraham “the Friend of Allah” (Nabi Ibrahim Khalilullah), Isaac (Ishaq), Jacob (Ya’qub), David (Dawud) dan Solomon (Sulaiman) ‘alaihimus Salam yang kesemuanya diklaim sebagai Rasul bagi kalangan Bani Israil.
            Ketika Islam datang dibawa oleh Rasulullah al-Amin, untuk menyampaikan Rahmat bagi alam semesta, maka Islam tidak melarang poligami dengan begitu saja dan tidak pula membiarkan poligami secara bebas. Islam datang dan membatasi poligami maksimal hanya 4 isteri saja. Zaman pra Islam telah mengenal poligami, bahkan poligami bukanlah suatu hal yang asing dimana ada seorang lelaki beristiri puluhan bahkan ratusan wanita.
            Datangnya Islam, membawa Rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil ’Alamin). Selain membatasi poligami, Islam juga menjelaskan persyaratan-persyaratan dan kriteria dianjurkannya berpoligami yang sebelumnya tidak ada.
B.  Pandangan Islam Terhadap Poligami
Saat ini, poligami dihujat habis-habisan. Bahkan dulu ada UU yang melarang pegawai negeri berpoligami. Bahkan di Republika, katanya ada rancangan hukum Agama yang melarang poligami.
            Seorang suami, dilarang berpoligami. Sementara masyarakat umum membolehkan suami tersebut berselingkuh dan berzinah dengan puluhan bahkan mungkin ratusan wanita atau pelacur selama hidupnya. Ironis bukan?
            Pada saat yang sama, kelompok sekuler, justru melindungi, dan mempromosikan perzinahan baik perselingkuhan maupun pelacuran.
            Acara yang mengobral pornografi, kumpul kebo, pelacuran, ditayangkan di mana-mana, sementara kondom dan obat kuat juga dipromosikan secara terbuka.
            Ada juga yang karena berzinah, baik dengan wanita biasa atau pelacur, akhirnya ketika hamil, mereka menggugurkan kandungannya dan membunuh janin yang tidak berdosa.
            Kehidupan macam itukah yang diinginkan oleh kelompok Sekuler? Seks bebas yang tidak bertanggung-jawab? Bukankah lebih baik jika para pelacur itu menjadi istri ke 2 atau ke 3, ketimbang harus melacur melayani 2-3 pria setiap malam dengan resiko berbagai penyakit kelamin dan AIDS serta anaknya lahir tanpa bapak”
            Sesungguhnya Poligami lebih baik daripada berselingkuh atau berzinah dengan pelacur. Poligami itu halal, sementara selingkuh atau pelacuran itu haram:
            Sering orang-orang sekuler menolak syariat Islam dengan alasan negara tidak berhak campur tangan dalam masalah agama. Tapi dalam hal poligami, mereka meminta negara melarang poligami. Sebaliknya mereka justru menolak jika negara melarang pelacuran dengan berbagai alasan. Pada RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mereka menolak pemerintah melarang warganya berciuman di depan umum atau selingkuh dengan alasan itu masalah pribadi. Sekarang justru mereka meminta negara melarang poligami yang juga adalah masalah pribadi. Aneh bukan? Itulah ciri-ciri orang yang tidak beriman. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
            Pada poligami, seorang pria harus adil kepada semua istrinya. Adil ini tentu dalam batas kemampuan manusia, seperti jatah hari, atau pun pemberian materi. Bukan sesuatu hal yang di luar jangkauan kemampuan manusia. Suami bertanggung-jawab memenuhi nafkah lahir dan batin serta melindungi semua istrinya, dan juga anak-anaknya.
            Pada perselingkuhan mau pun pelacuran, pada dasarnya terjadi hubungan seks antara satu pria dengan banyak wanita seperti pada poligami. Tapi pada perselingkuhan dan pelacuran, tidak ada tanggung-jawab bagi pria mau pun wanita. Sang pria tidak harus memberi nafkah lahir dan batin, kecuali hanya pada saat kesenangan sesaat.
            Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Terkadang sebagian manusia merasa sombong sehingga mengharamkan apa yang Allah halalkan.
            Dalam Islam, poligami harus dilakukan dengan adil dan baik. Semua istri harus dinafkahi dengan baik dan adil. Suami selain harus menyediakan rumah yang layak bagi setiap istrinya juga harus bergilir mendatangi rumah setiap istrinya dengan adil. Allah tidak mungkin membolehkan poligami jika manusia memang tidak bisa melakukannya.
            Menikahi wanita yang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua, yang pertama, hukumnya haram, yang ke dua hukumnya boleh.
            Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
            Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia menuangkan air (maninya) pada tanaman orang lain” (HR. Abu Daud).
            Yang dimaksud dengan tanaman orang lain adalah haram melakukan persetubuhan dengan wanita yang telah dihamili orang lain, baik hamilnya karena zina maupun karena hubungan suami istri yang sah. Singkatnya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk di setubuhi oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang telah menyetubuhinya.
            Dari dalil diatas kita mendapatkan hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak dilarang.
            Maka seorang laki-laki menikahi pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhi (mengawininya) adalah benar-benar dirinya sebagai laki-laki yang menghamilinya, bukuan orang lain.
2.      Status Pernikahannya
            Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat.
Pertama. Dia dan si laki-lakinya taubat dari perbuatan zinanya.
            Ini dikarenakan Allah telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia berfirman,
اَلزَّانِيْ لاَ يَنْكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلى الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
            Apabila seseorang telah mengetahui bahwa pernikahan ini haram dilakukan, namun tetap memaksakannya dan melanggarnya, maka pernikahannya itu tidak sah. Dan bila melakukan hubungan, maka hubungan itu adalah perzinahan.  Dan bila terjadi kehamilan maka anak itu tidak dinasabkan kepada laki-laki itu (dalam kata lain si anak tidak memiliki bapak). Ini tentunya bila mereka mengetahui, bahwa hal itu tidak boleh. Apabila seseorang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal mengetahui telah diharamkan Allah, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Karena menghalalkan perkara yang diharamkan Allah, telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bersama Allah dalam membuat syari'at. Allah berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
Artinya: Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?
            Di dalam ayat ini Allah menyatakan orang-orang yang membuat syari'at bagi hamba-hambanya sebagai sekutu. Berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum bertaubat adalah orang musyrik. Namun bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, bila syarat yang kedua terpenuhi.   
Kedua. Harus beristibra' (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haidl bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya.  Rasulullah bersabda,
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِأَ بِحَيْضَةٍ
Artinya: Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra' dengan satu kali haidl.[11]
            Dalam hadits di atas Rasulullah melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
            Bila seseorang tetap menikahkan puterinya yang telah berzina tanpa beristibra' terlebih dahulu dengan satu kali haid. Atau sedang hamil tanpa menunggu melahirkan terlebih dahulu, sedangkan dirinya mengetahui bahwa pernikahan seperti itu tidak diperboleh. Dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa hal itu diharamkan sehingga pernikahannya tidak diperbolehkan, maka pernikahannya itu tidak sah. Apabila keduanya melakukan hubungan badan maka itu termasuk zina, dan harus bertaubat kemudian pernikahannya harus diulangi bila telah selesai istibra' dengan satu kali haid terhitung dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
D.  Status Anak Hasil Hubungan Di Luar Nikah
Bagaimana status anak hasil perzinaan tersebut? Padahal biasanya si wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang berzina dengannya. Kemudian si laki-laki itu merasa bahwa si anak itu sebagai anaknya. Sedangkan dia mengetahui kandungan itu hasil perzinaan dengan dia. Menurut syari'at benarkah yang seperti itu ?
Madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) telah sepakat. Anak hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya, menaburkan benih itu mengaku yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini sama saja, baik si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak. Berdasarkan sabda Rasulullah,
E.     اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر
Artinya: Anak itu bagi (pemilik) firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)
Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya adalah si isteri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy. Karena si suami atau si tuan menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna hadits di atas, anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan.
            Kita sudah mengetahui bahwa anak yang dilahirkan wanita dari hasil hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan sebagai anak si laki-laki yang berzina dengannya. Maka berarti,
·         Anak itu tidak berbapak.
·         Anak itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
·         Bila anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi walinya. Karena dalam pandangan Islam bukan bapaknya Rasulullah bersabda,
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا
Artinya: Maka sulthan (Pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.


BAB III
Poligami adalah perkawinan dengan lebih dari satu istri dan praktek ini sudah merupakan salah satu tradisi lama dalam kehidupan social manusia, bahkan usia poligami ini sama dengan usia peradaban manusia itu sendiri, buktinya orang-orang terdahulu di cina, inggris, afrika dan dinegara-negara lain, bahkan Nabi-nabi sebelum nabi Muhammad diutus mereka sudah terbiasa dengan praktek poligami, seperti halnya Nabi Ibrahim beliau punya dua orang istri yang bernama Sarah dan Hajar, juga Nabi Ya'qub beliau juga mempraktekkan poligami beliau mempunya dua pendamping hidup yang bernama Lia dan Rahel. Dikehidupan non muslim pun poligami juga ada seperti yang tertulis dalam Al-kitab mereka, bahwa berpoligami itu boleh saja tanpa ada larangan atau ancaman bagi pelaku poligami ini. Dan poligami ini sangat cocok dipraktekkan dalam kehidupan manusia dengan beberapa alasan yang sangat rasional salah satunya bahwa populasi wanita yang ada didunia ini lebih banyak dibandingkan pria.
Menikahi wanita yang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua, yang pertama, hukumnya haram, yang ke dua hukumnya boleh. Dan anak yang dilahirkan wanita dari hasil hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan sebagai anak si laki-laki yang berzina dengannya. Maka berarti,
·         Anak itu tidak berbapak.
·         Anak itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
·         Bila anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi walinya. Karena dalam pandangan Islam bukan bapaknya.

B.  Saran
            Silakan anda berikan saran anda sendiri.


Abdurrahman, 1992. Kompilasi Hukum Isiam. Jakarta, Pressindo.
ABU SALMA AL ATSARI. 2008. Poligami dihujat.
Ensiklopedi Islam, PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE. JAKARTA, jilid 4.
Wahbah al-Zuhaily, 1985.Al-Piqh Al-lslam wa AtUlatuhu. VII, Beinn Darul Fikr,