Poligami saat ini masih menjadi pro-kontra di masyarakat. Hal ini
dikarenakan perbedaan pandangan masyarakat akan poligami itu sendiri. Masih
banyak masyarakat yang menganggap poligami adalah suatu perbuatan yang negatif.
Ini terjadi karena poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya
menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum
adanya Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami
dilakukan.Tujuan hidup berkeluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir
dan batin. Namun dengan adanya poligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan
dalam rumah tangga dapat menjadi hilang.Keharmonisan dalam keluarga juga akan
hilang. Hal ini tentu merugikan bagi istri dan anak-anaknya karena mereka
beranggapan bahwa mereka tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang
suami. Pandangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun
ada juga yang menentang. Terlebih lagi bagi kaum hawa
yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini diperparah dengan perekonomian
keluarga yang tidak memungkinkan poligami.
Namun poligami dalam islam sendiri, adanya bukan tanpa
tujuan dan alasan yang rasional, seperti yang kita ketahui bahwa semua yang
telah menjadi aturan dan hukum dalam islam itu sudah ada alasan dan hikmah yang
terkadang kita kurang menyadari dan memahami.
Bukan
hanya poligami yang menjadi problematika dalam kehidupan manusia saat ini, tapi
juga kasus pernikahan wanita hamil yang sering dijumpai dalam masyarakat yang
menimbulkan berbagai anggapan negatif di kalangan masyarakat. bahkan dalam
kalangan ulama sendiri (ahli fiqih) masih terdapat perbedaan pendapat mengenai
boleh atau tidaknya pernikahan seperti itu.
Sungguh
memang sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda pada zaman
sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan para orang
tuapun ikut andil. Karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal demikian.
Bahkan ada diantara orang tua yang kurang paham agama, menganjurkan kepada
anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina. Para orang tua
banyak yang tidak mendidik anak-anak dengan pendidikan Islam.
Akibat
dari pergaulan gaya barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana
dan bukan lagi menjadi masalah tabu. Kita sering mendengar ada anak yang
terlahir dari hasil hubungan di luar nikah. Bahkan untuk menutupi aib maksiat
yang dilakukan justru mereka menutupinya dengan maksiat lagi yang
berlipat-lipat dan berkepanjangan. Yaitu menikahkan kedua pelaku maksiat.
Setelah si laki-laki menghamilinya, dia menikahinya dalam keadaan si wanita
sedang hamil. Atau meminjam seseorang untuk menikahinya dengan dalih menutupi
aibnya.
1. Apa itu poligami ?
2. Bagaimana pandangan islam mengenai
poligami itu ?
3. Bagaiaman hukum perkawinan wanita
hamil dan bagaimana status nikahnya?
4. Bagaimana status anak yang lahir
dari pernikahan tersebut?
C. Tujuan
1) Untuk lebih memahami masalah
poligami yang menjadi polemik dikalangan masyarakat.
2) Untuk menambah pengetahuan mengenai
perkawinan wanita hamil.
3) Untuk mengetahui bagaimana pandangan
islam terhadap poligami dan perkawinan wanita hamil.
Kata poligami berasal dari bahasa
yunani, yaitu poly atau polus yang
berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa, poligami berarti suatu
perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih satu orang baik
pria maupun wanita.
Dalam antropologi sosial, Poligami
merupakan praktek pernikahan kepada lebih dari satu istri atau suami. Terdapat
tiga bentuk poligami, yaitu : Poligini
( Seorang pria memiliki beberapa orang istri); Poliandri ( Seorang wanita memiliki beberapa orang suami ) dan Group Marriage atau Group Family ( yaitu gabungan dari poligini dengan poliandri,
misalnya dalam satu rumah ada lima laki-laki dan lima wanita, kemudian
bercampur secara bergantian ). ketiga bentuk poligami itu ditemukan dalam
sejarah manusia, namun poligini merupakan bentuk paling umum. Poligami ( dalam
makna Poligini ) bukan semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam
datang, peradaban manusia di berbagai belahan dunia sudah mengenal poligami.
Poligami bukan merupakan praktek
yang dikenalkan oleh Islam pertama kali. Namun poligami merupakan praktek yang
telah berlangsung semenjak zaman dahulu, setua dengan tuanya usia peradaban
manusia.
Hamdi Syafiq mengatakan : ”Islam
bukanlah yang pertama kali memperkenalkan poligami. Secara historis ditetapkan
bahwa poligami telah dikenal semenjak masa lalu, sebuah fenomena yang usianya
setua manusia itu sendiri dimana poligami telah menjadi sebuah praktek yang
lazim semenjak masa Paranoiak”.
DR. Muhammad Fu’ad al-Hasyimi,
mantan pemeluk kristiani yang akhirnya masuk Islam, di dalam bukunya ”Religions
on The Scales” (hal. 109) berkata: “Gereja telah mengenal praktek poligami
sampai abad ke-17. Tidak ada satupun dari injil yang empat diketahui adanya
larangan yang secara jelas melarang poligami. Perubahan terjadi ketika
orang-orang Eropa yang bertaklid kepada tradisi non poligami kaum paganis
(hanya beberapa kalangan saja yang diketahui melarang poligami, karena
mayoritas masyarakat Eropa –sebagaimana disebutkan sebelumnya- mempraktekan
poligami secara luas). Ketika kaum minoritas anti poligami itu masuk agama
kristen, tradisi mereka menggeser tradisi poligami dan mereka memaksakan
(tradisi ini) bagi penganut kristen lainnya. Seiring berlalunya waktu, kaum
kristiani mengira bahwa larangan poligami itu merupakan esensi ajaran kristen,
padahal hal ini berangkat dari sikap taklid kepada para pendahulu mereka, yang
sebagian orang (non poligamis) memaksakannya kepada lainnya (tradisinya) dan
akhirnya terus berlangsung selama bertahun-tahun...”
Bukti bahwa praktek poligami bukan
hanya ada dalam islam saja menunjukkan satu buah ayat dari “Kitab Suci” mereka yang menunjukkan bahwa poligami itu
terlarang. Jika mereka mau bersikap obyektif, bukankah kitab “Perjanjian Lama”
yang diklaim sebagai Taurat (Torah), membatalkan klaim mereka yang menolak
poligami. Karena kitab “Perjanjian Lama” ini secara eksplisit menunjukkan akan
adanya praktek poligami di kalangan para Nabi dan Rasul, mulai dari Prophet
Abraham “the Friend of Allah” (Nabi Ibrahim Khalilullah), Isaac (Ishaq), Jacob
(Ya’qub), David (Dawud) dan Solomon (Sulaiman) ‘alaihimus Salam yang kesemuanya
diklaim sebagai Rasul bagi kalangan Bani Israil.
Ketika Islam datang dibawa oleh
Rasulullah al-Amin, untuk menyampaikan Rahmat bagi alam semesta, maka Islam
tidak melarang poligami dengan begitu saja dan tidak pula membiarkan poligami
secara bebas. Islam datang dan membatasi poligami maksimal hanya 4 isteri saja.
Zaman pra Islam telah mengenal poligami, bahkan poligami bukanlah suatu hal
yang asing dimana ada seorang lelaki beristiri puluhan bahkan ratusan wanita.
Datangnya Islam, membawa Rahmat bagi
semesta alam (Rahmatan lil ’Alamin). Selain membatasi poligami, Islam juga
menjelaskan persyaratan-persyaratan dan kriteria dianjurkannya berpoligami yang
sebelumnya tidak ada.
B. Pandangan Islam Terhadap Poligami
Saat ini,
poligami dihujat habis-habisan. Bahkan dulu ada UU yang melarang pegawai negeri
berpoligami. Bahkan di Republika, katanya ada rancangan hukum Agama yang
melarang poligami.
Seorang suami, dilarang berpoligami.
Sementara masyarakat umum membolehkan suami tersebut berselingkuh dan berzinah
dengan puluhan bahkan mungkin ratusan wanita atau pelacur selama hidupnya.
Ironis bukan?
Pada saat yang sama, kelompok
sekuler, justru melindungi, dan mempromosikan perzinahan baik perselingkuhan
maupun pelacuran.
Acara yang mengobral pornografi, kumpul
kebo, pelacuran, ditayangkan di mana-mana, sementara kondom dan obat kuat juga
dipromosikan secara terbuka.
Ada juga yang karena berzinah, baik
dengan wanita biasa atau pelacur, akhirnya ketika hamil, mereka menggugurkan
kandungannya dan membunuh janin yang tidak berdosa.
Kehidupan macam itukah yang
diinginkan oleh kelompok Sekuler? Seks bebas yang tidak bertanggung-jawab?
Bukankah lebih baik jika para pelacur itu menjadi istri ke 2 atau ke 3,
ketimbang harus melacur melayani 2-3 pria setiap malam dengan resiko berbagai
penyakit kelamin dan AIDS serta anaknya lahir tanpa bapak”
Sesungguhnya Poligami lebih baik
daripada berselingkuh atau berzinah dengan pelacur. Poligami itu halal,
sementara selingkuh atau pelacuran itu haram:
Sering orang-orang sekuler menolak
syariat Islam dengan alasan negara tidak berhak campur tangan dalam masalah
agama. Tapi dalam hal poligami, mereka meminta negara melarang poligami.
Sebaliknya mereka justru menolak jika negara melarang pelacuran dengan berbagai
alasan. Pada RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mereka menolak pemerintah
melarang warganya berciuman di depan umum atau selingkuh dengan alasan itu
masalah pribadi. Sekarang justru mereka meminta negara melarang poligami yang
juga adalah masalah pribadi. Aneh bukan? Itulah ciri-ciri orang yang tidak
beriman. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Pada poligami, seorang pria harus
adil kepada semua istrinya. Adil ini tentu dalam batas kemampuan manusia,
seperti jatah hari, atau pun pemberian materi. Bukan sesuatu hal yang di luar
jangkauan kemampuan manusia. Suami bertanggung-jawab memenuhi nafkah lahir dan
batin serta melindungi semua istrinya, dan juga anak-anaknya.
Pada perselingkuhan mau pun
pelacuran, pada dasarnya terjadi hubungan seks antara satu pria dengan banyak
wanita seperti pada poligami. Tapi pada perselingkuhan dan pelacuran, tidak ada
tanggung-jawab bagi pria mau pun wanita. Sang pria tidak harus memberi nafkah
lahir dan batin, kecuali hanya pada saat kesenangan sesaat.
Sesungguhnya Allah SWT Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana. Terkadang sebagian manusia merasa sombong
sehingga mengharamkan apa yang Allah halalkan.
Dalam Islam, poligami harus
dilakukan dengan adil dan baik. Semua istri harus dinafkahi dengan baik dan
adil. Suami selain harus menyediakan rumah yang layak bagi setiap istrinya juga
harus bergilir mendatangi rumah setiap istrinya dengan adil. Allah tidak
mungkin membolehkan poligami jika manusia memang tidak bisa melakukannya.
Menikahi wanita yang dalam keadaan
hamil hukumnya ada dua, yang pertama, hukumnya haram, yang ke dua hukumnya
boleh.
Yang hukumnya haram adalah apabila
yang menikahi bukan orang yang menghamili, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak
halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia menuangkan air
(maninya) pada tanaman orang lain” (HR. Abu Daud).
Yang dimaksud dengan tanaman orang
lain adalah haram melakukan persetubuhan dengan wanita yang telah dihamili
orang lain, baik hamilnya karena zina maupun karena hubungan suami istri yang
sah. Singkatnya, bila seorang wanita sedang hamil, maka haram untuk di setubuhi
oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang telah menyetubuhinya.
Dari dalil diatas kita mendapatkan
hukum yang kedua, yaitu yang hukumnya boleh. Yaitu wanita hamil karena zina
dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya. Hukumnya boleh dan tidak
dilarang.
Maka seorang laki-laki menikahi
pasangan zinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhi
(mengawininya) adalah benar-benar dirinya sebagai laki-laki yang menghamilinya,
bukuan orang lain.
2. Status
Pernikahannya
Wanita yang hamil karena perbuatan
zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun
dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat.
Pertama. Dia dan si laki-lakinya taubat
dari perbuatan zinanya.
Ini dikarenakan Allah telah
mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina, Dia berfirman,
اَلزَّانِيْ لاَ يَنْكِحُ إِلاَّ
زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلى الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Apabila seseorang telah mengetahui
bahwa pernikahan ini haram dilakukan, namun tetap memaksakannya dan
melanggarnya, maka pernikahannya itu tidak sah. Dan bila melakukan hubungan,
maka hubungan itu adalah perzinahan. Dan bila terjadi kehamilan maka anak itu tidak
dinasabkan kepada laki-laki itu (dalam kata lain si anak tidak memiliki bapak). Ini tentunya bila mereka mengetahui, bahwa hal
itu tidak boleh. Apabila seseorang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal
mengetahui telah diharamkan Allah, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik.
Karena menghalalkan perkara yang diharamkan Allah, telah menjadikan dirinya
sebagai sekutu bersama Allah dalam membuat syari'at. Allah berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا
لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
Artinya: Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan (sekutu) selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?
Di dalam ayat ini Allah menyatakan
orang-orang yang membuat syari'at bagi hamba-hambanya sebagai sekutu. Berarti
orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum bertaubat adalah
orang musyrik. Namun bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, bila syarat
yang kedua terpenuhi.
Kedua. Harus beristibra' (menunggu kosongnya rahim) dengan
satu kali haidl bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai
melahirkan kandungannya. Rasulullah
bersabda,
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِأَ بِحَيْضَةٍ
Artinya:
Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh
digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra' dengan satu kali haidl.[11]
Dalam hadits di atas Rasulullah
melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil
sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak
itu sudah menjadi miliknya.
Bila seseorang tetap menikahkan
puterinya yang telah berzina tanpa beristibra' terlebih dahulu dengan
satu kali haid. Atau sedang hamil tanpa menunggu melahirkan terlebih
dahulu, sedangkan dirinya mengetahui bahwa pernikahan seperti itu tidak
diperboleh. Dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa hal itu
diharamkan sehingga pernikahannya tidak diperbolehkan, maka pernikahannya itu
tidak sah. Apabila keduanya melakukan hubungan badan maka itu termasuk zina,
dan harus bertaubat kemudian pernikahannya harus diulangi bila telah selesai istibra'
dengan satu kali haid terhitung dari hubungan badan yang terakhir atau setelah
melahirkan.
D. Status Anak Hasil Hubungan Di Luar
Nikah
Bagaimana
status anak hasil perzinaan tersebut? Padahal biasanya si wanita yang hamil itu
dinikahi oleh laki-laki yang berzina dengannya. Kemudian si laki-laki itu
merasa bahwa si anak itu sebagai anaknya. Sedangkan dia mengetahui kandungan
itu hasil perzinaan dengan dia. Menurut syari'at benarkah yang seperti itu ?
Madzhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) telah sepakat. Anak
hasil zina tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu
tidak memiliki bapak. Meskipun si laki-laki yang menzinahinya, menaburkan benih
itu mengaku yang dikandung itu anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah, karena
anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Dalam hal ini sama saja, baik si
wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak
berbapak. Berdasarkan sabda Rasulullah,
E. اَلْوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحْجَر
Artinya: Anak itu bagi (pemilik) firasy,
dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)
Firasy adalah tempat tidur. Maksudnya
adalah si isteri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah
digauli tuannya. Keduanya dinamakan firasy. Karena si suami atau si tuan
menggaulinya (tidur bersamanya). Sedangkan makna hadits di atas, anak itu
dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami
maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya, dan dia hanya mendapatkan kekecewaan
dan penyesalan.
Kita sudah mengetahui bahwa anak
yang dilahirkan wanita dari hasil hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan
sebagai anak si laki-laki yang berzina dengannya. Maka berarti,
·
Anak
itu tidak berbapak.
·
Anak
itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
·
Bila
anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali
hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi
walinya. Karena dalam pandangan Islam bukan bapaknya Rasulullah bersabda,
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ
وَلِيَّ لَهَا
Artinya: Maka sulthan (Pihak yang
berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.
BAB III
Poligami
adalah perkawinan dengan lebih dari satu istri dan praktek ini sudah merupakan
salah satu tradisi lama dalam kehidupan social manusia, bahkan usia poligami
ini sama dengan usia peradaban manusia itu sendiri, buktinya orang-orang
terdahulu di cina, inggris, afrika dan dinegara-negara lain, bahkan Nabi-nabi
sebelum nabi Muhammad diutus mereka sudah terbiasa dengan praktek poligami,
seperti halnya Nabi Ibrahim beliau punya dua orang istri yang bernama Sarah dan
Hajar, juga Nabi Ya'qub beliau juga mempraktekkan poligami beliau mempunya dua
pendamping hidup yang bernama Lia dan Rahel. Dikehidupan non muslim pun poligami
juga ada seperti yang tertulis dalam Al-kitab mereka, bahwa berpoligami itu
boleh saja tanpa ada larangan atau ancaman bagi pelaku poligami ini. Dan
poligami ini sangat cocok dipraktekkan dalam kehidupan manusia dengan beberapa
alasan yang sangat rasional salah satunya bahwa populasi wanita yang ada
didunia ini lebih banyak dibandingkan pria.
Menikahi wanita yang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua,
yang pertama, hukumnya haram, yang ke dua hukumnya boleh. Dan anak yang
dilahirkan wanita dari hasil hubungan perzinaan itu bukan dinisbatkan sebagai
anak si laki-laki yang berzina dengannya. Maka berarti,
·
Anak
itu tidak berbapak.
·
Anak
itu tidak bisa saling mewarisi dengan laki-laki (yang dianggap ayahnya) itu.
·
Bila
anak itu perempuan dan ketika dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali
hakim. Karena tidak memiliki wali. Sedangkan laki-laki itu tidak berhak menjadi
walinya. Karena dalam pandangan Islam bukan bapaknya.
B. Saran
Silakan anda berikan saran anda
sendiri.
Abdurrahman, 1992. Kompilasi
Hukum Isiam. Jakarta, Pressindo.
ABU SALMA AL ATSARI. 2008. Poligami dihujat.
Ensiklopedi Islam, PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE.
JAKARTA, jilid 4.
Wahbah
al-Zuhaily, 1985.Al-Piqh
Al-lslam wa AtUlatuhu. VII, Beinn Darul Fikr,